Setiap hari darah tertumpah di bumi ini, dan tak ada yang anah dengan hari ini, di suatu titik di suatu saat pada hari ini, merahnya darah tentu telah sedang dan akan tertumpah membasahi bumi.
Sedikit perbedaan yang ada hanyalah bahwa pada hari ini merahnya darah terlihat jelas oleh kedua mataku, darah yang tercecer dijalanan, ditutupi oleh selembar koran usang yang juga menjadi basah oleh sang darah.
Darah ini ada di bawah kakiku, terlewati begitu saja seakan ia hanya seonggok darah hewan kurban, tidak sekali kali tidak, ini adalah darah manusia, ada respek yang terlahir dari dalam hati ketika melihatnya, bukan takut, bukan jijik, bukan ngeri, hanya respek bahwa darah ini tadinya merupakan bagian tubuh seseorang, bagian tubuh yang terpaksa terpisah dari sang empu.
Aku tidak tahu darah siapa ini, atau bagaimana dia sampai tergenang membasahi bumi, hanya terdengar sayup sayup ucapan sang pendongeng mengisahkan tentang al maut yang tadi mampir di jalan ini.
Cerita klasik jalanan ibu kota, kala pagi mendera, semua sibuk dengan tujuan hidupnya sendiri. Saling sikut saling tonjok itu biasa yang penting tujuan tercapai. Jutaan motor melintas di jalanan, bersaing dengan ratusan ribu mobil pribadi. Tak lupa kopaja saling salip kiri ke kanan, kanan ke kiri, mengatasnamakan mencari sesuap nasi untuk anak istri atau sekedar memuaskan nafsu bibir sendiri.
Seberapa sering kita mengalami kecelakaan mungkin sangat kecil, 1 % dari seribu kali perjalanan kita menuju kantor, atau 0.01 % dari sepuluh ribu kali kita menyalip kendaraan di depan kita. Lalu kitapun sombong dan menganggap kita adalah sang hebat, penguasa jalanan, master of our own vehicyle. Lalu yang 1 % itu pun terjadi, lalu al maut pun datang, lalu lalu……..semua menjadi tak berarti lagi………..
Pagi ini pun tak jauh berbeda, saat hukum rimba diberlakukan, lalu lintaspun tak ubahnya medan perang, namun naas, ada dua pihak yang harus mengalami kesialan (bila ini bisa digolongkan dalam kasus yang bernama “kesialan”), pengemudi motor tertabrak kopaja, aku tidak tahu siapa yang salah, dan bukankah siapa yang benar dan siapa yang salah sudah tidak berlaku lagi pada saat itu, korban berjatuhan walaupun bisa jadi dia yang benar, lalu apa? Darah telah tertumpah.
Teringat pesan dari Ayah, “Ketika kita di jalanan, tidak penting apakah kita benar atau kita salah, yang penting adalah selamat”. God bless you my dear father. Wejangan yang sering kali terlupakan, tertutup oleh ego dan harga diri.
Merenungi tingkah laku motor dan kopaja di dunia perlalu-lintasan, tak ubahnya melihat film aliens vs predator, who ever win, it won’t bring any good to the humanity.