Pernahkah kita memperhatikan perjalanan hidup kita dalam konteks bahasa sehari hari yang kita gunakan?
Mungkin ya, mungkin tidak, setidaknya renungan akan hal itu tersirat dalam benakku saat membaca komentar salah satu rekan pada tulisan cerita pendekku, “Pram and his journey”, komentarnya sederhana, “lo seh gue, kok gue jadi bingung....”.
Sebenarnya aku sendiri tak terlalu memahami akan maksud dari komentar tersebut, namun penggunaan kalimat yang berbau betawi atau sebagian orang menyebutnya sebagai bahasa gaul, mungkin adalah semacam kritisi dari penggunaan bahasa dalam ceritaku itu.
Dari hal itu, aku kemudian berpikir mengenai perjalanan kehidupan sekolahku dulu. SD dan SMP kulewati di daerah yang bisa kusebut sebagai Bandung pinggiran, pada saat itu penggunaan bahasa sunda sebagai pengantar pergaulan sehari hari sangatlah kental, bahasa indonesia hanya digunakan pada saat proses belajar mengajar, kecuali saat pelajaran bahasa inggris atau bahasa sunda tentunya.
Tentu aku pun mendengar penggunaan bahasa gaul/betawi walau masih terbatas, di televisi atau dikalangan anak anak orang kaya atau pendatang yang asalnya dari Jakarta. Entah dari mana asalnya, namun bahasa gaul identik dengan anak dari keluarga kaya dan terdengar seperti bahasa untuk anak anak sombong, setidaknya pada saat itu, dan hal itu pula yang menjadikanku enggan menggunakan bahasa tersebut.
Cerita bergulir pada saat SMA, kali ini sekolahku terletak di lokasi yang bisa disebut benar benar Bandung. Namun sebagai lulusan dari desa, bahasa sunda tetap kujadikan bahasa utama, namun itu semua hanya bertahan pada awal awal SMA saja.
Pergaulan dengan teman sekelas yang berasal dari multi Etnik menyebabkan bahasa sunda lambat laun tersisihkan dan sedikit demi sedikit, bahasa gaul yang dahulu enggan kujamah, menjadi bahasa sehari hariku, lengkap dengan “loe” dan “gue/gw”. Teringat kelakuan temanku yang orang sunda asli (maksudnya asli = skill basa sundanya ok, dan sehari hari dirumahnya pun menggunakan basa sunda), menggunakan kalimat” loe loe gua gua, gw gampar loe” sebagai bentuk sindiran terhadap orang sunda yang berlagak menggunakan basa gaul/betawi ini.
Beranjak ke masa kuliah, penggunaan “loe”, “gw” menjadi semakin biasa, namun dengan lingkungan pergaulan yang berbeda, maka kesan yang ada menjadi berbeda, kali ini citra yang ada untuk pengguna “loe”, “gw” adalah kampungan/norak dan kurang berkependidikan. Dari mana citra itu bisa muncul? Entahlah, mungkin karena pada saat itu pengguna kata kata tersebut memang berasal dari orang orang yang memiliki tingkat intelektualitas yang kurang.
Atau bisa jadi pendapat ini, kudapatkan karena pada saat itu aku masih sering terlibat dalam diskusi diskusi politik, debat agama/filsafat atau seminar ilmiah lainnya yang jelas, penggunaan “loe”, “gw”, adalah tidak pada tempatnya.
Nah kalo sekarang seh dah ga punya citra apa apa lagi, sebodo dah orang mo pake basa apa, asal tata krama sopan santun di jaga, semua basa bisa digunakan.
Back to Pram, salah satu alasan pemilihan bahasa dalam “Pram And His Journey” adalah karena pada saat itu bahasa yang sering digunakan adalah gaya bahasa seperti itu. Jeung nu puguh mah mun nulisna make basa sunda, nu ngartina bakalan saeutik hahaha, meureun.
Thank you for your comment, i really appreciate it
Gema Pramugia